KESETARAAN GENDER PADA PERSPEKTIF MAHASISWA
1SDA5
Disusun Oleh:
1. Syntia Wulandari 221330001076
2. Febi Dewinda Dayana 221330001149
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA JEPARA
TAHUN AKADEMIK 2022/2023
KESETARAAN GENDER PADA PERSPEKTIF MAHASISWA
Oleh
Syntia Wulandari1 Febi Dewinda Dayana2
Program
Studi Pendidikan Guru Sekolah DasarFakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Universitas Islam Nahdlatul Ulama’ Jepara (UNISNU
Jepara)
PENDAHULIAN
Gender adalah pembedaan gender
berdasarkan budaya yang memisahkan laki-laki dan perempuan menurut peran yang
dikonstruksikan dalam budaya lokal dalam kaitannya dengan peran, karakteristik,
status dan status dalam masyarakat tersebut. Seks atau jenis kelamin merupakan
perbedaan antara pria dengan wanita berdasarkan ciri biologisnya. Manusia yang
berjenis kelamin laki-laki adalah manusia yang bercirikan memiliki penis,
memiliki jakala (kala menjing), dan memproduksi sperma. Sedangkan perempuan
memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan,
memproduksi telur, memiliki vagina, dan memiliki alat. Pembedaan pria dan
wanita berdasarkan sex atau jenis kelamin merupakan suatu kodrat atau ketentuan
dari Tuhan. Ciri-ciri biologis yang melekat pada masing-masing jenis kelamin
tidak dapat dipertukarkan. Alat yang dimiliki pria dan wanita tidak pernah
berubah atau bersifat permanen.
Terdapat dua kelompok atau kelas yang
mendefinisikan gender secara berbeda. Kelompok pertama adalah kelompok feminis,
yang menurutnya perbedaan gender tidak menyebabkan perbedaan peran dan perilaku
gender di tingkat sosial. Kelompok lain percaya bahwa perbedaan gender
menyebabkan perbedaan berbasis gender dalam perlakuan atau peran. Misalnya,
pekerja perempuan diperlakukan berbeda karena kondisi biologisnya, seperti cuti
hamil, cuti haid, kerja malam, dan lain-lain.
Gender didefinisikan sebagai
konstruksi sosial budaya yang memisahkan karakteristik laki-laki dan perempuan.
Jenis kelamin berbeda dengan jenis kelamin, atau laki-laki dan perempuan, yang
bersifat biologis. Meskipun jenis kelamin laki-laki sering dikaitkan erat
dengan jenis kelamin laki-laki dan jenis kelamin perempuan dengan jenis kelamin
perempuan, hubungan antara jenis kelamin dan jenis kelamin bukanlah korelasi
yang mutlak. Dalam studi gender, lebih banyak perhatian diberikan pada
maskulinitas atau feminitas seseorang. Peran gender tidak berdiri sendiri,
tetapi terkait dengan identitas dan perbedaan karakteristik yang distribusikan
masyarakat kepada laki-laki dan perempuan, yang lebih dari perbedaan fisiologis,
tetapi meresapi semua nilai sosial budaya yang hidup dan berkontribusi pada
masyarakat. Perbedaan gender menciptakan perbedaan antar jenis kelamin, dan
perbedaan gender telah menciptakan banyak ketidakadilan.
Sementara itu, kesetaraan gender memiliki
makna tersendiri, yaitu pengertian bahwa laki-laki dan perempuan memiliki
kebebasan untuk mengembangkan keterampilan pribadinya dan menentukan pilihan
tanpa dibatasi oleh stereotype, prasangka dan peran gender yang kaku.
Kesetaraan gender di Indonesia mulai diprogramkan saat dikeluarkannya Instruksi
Presiden RI No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Kesetaraan, yang artinya
pada abad ke-21 pemahaman tentang kesetaraan gender mulai tercipta di
masyarakat. Namun tidak semua orang memahami arti kesetaraan, sehingga
implementasi kesetaraan gender dalam keluarga masih jauh dari harapan. Oleh
karena itu, diperlukan investigasi yang mendalam untuk mengetahui sejauh mana
persepsi masyarakat terhadap kesetaraan gender dalam keluarga.
PEMBAHASAN
Sulistyowati (2020: 2-3) berpendapat
bahwa gender adalah cara pandang atau persepsi manusia terhadap perempuan atau
laki-laki yang tidak didasarkan pada perbedaan biologis antar jenis kelamin.
Gender menciptakan perbedaan antara perempuan dan laki-laki dalam segala aspek
kehidupan manusia, termasuk ciptaan sosial dimana status perempuan lebih rendah dari laki-laki. Misalnya, wanita dikenal lembut, cantik, emosional atau keibuan.
Laki-laki dipandang kuat, rasional, maskulin, keren. Sifat-sifat alam itu
sendiri merupakan sifat yang dapat diubah. Artinya ada pria yang
emosional, lembut, keibuan, sedangkan
wanita kuat, rasional dan berkuasa.
Sebenarnya, istilah gender tidak ada
dalam kosa kata salah satu kamus utama bahasa Indonesia. Kata gender berasal
dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin. Selain itu, gender juga dapat
diartikan sebagai perbedaan nilai dan perilaku antara laki-laki dan perempuan.
The Women Studies Encyclopedia menjelaskan bahwa seks adalah konsep budaya yang cenderung membedakan
peran, perilaku, cara berpikir, dan karakteristik emosional yang dikembangkan
masyarakat antara laki-laki dan perempuan. Hilary M. Lips dalam Saeful
(2019:19) mendefinisikan gender sebagai pengharapan budaya bagi laki-laki dan
perempuan (cultural expectation for women and men).
Pendapat ini konsisten dengan
pendapat umum para feminis seperti Lindsey, yang mengatakan bahwa semua
keputusan sosial tentang mendefinisikan seseorang sebagai laki-laki atau
perempuan termasuk dalam ranah studi gender. Namun, H. T. Wilson mendefinisikan
gender sebagai dasar perbedaan kontribusi laki-laki dan perempuan
terhadap budaya dan kehidupan sosial, yang mengakibatkan mereka menjadi
laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, gender merupakan konsep yang lahir
dari kondisi sosial dan budaya.
Mendefinisikan kesetaraan gender menurut Aldianto dkk (2015: 87), yang
merupakan salah satu hak asasi kita sebagai manusia. Hak untuk hidup terhormat, tanpa rasa takut dan bebas
menentukan pilihan hidup tidak hanya diperuntukkan bagi laki-laki, pada prinsipnya perempuan memiliki
hak yang sama. Sayangnya, hingga saat ini, perempuan sering dipandang lemah dan
hanya menjadi karakter tambahan. Selain itu, ada anggapan bahwa peran perempuan
hanya sebatas mengurus dapur, sumur, keluarga, dan anak-anak, sehingga hal-hal
di luar itu akhirnya menjadi tidak relevan.
Salah satu tuntutan dunia pendidikan saat ini adalah keadilan dan kesetaraan gender. Pendidikan
yang sejatinya merupakan bidang studi baik bagi laki-laki maupun perempuan,
justru lebih digandrungi laki-laki
daripada perempuan. Kondisi tersebut tidak sia-sia, namun dilatarbelakangi oleh
pendekatan masyarakat yang patriarki
yaitu anggapan bahwa laki-laki memiliki status dan derajat yang lebih
tinggi daripada perempuan.
Ketidaksetaraan gender masih sering terjadi dalam proses pendidikan di
Indonesia. Pada umumnya masyarakat masih menganut anggapan bahwa perempuan
adalah kelompok sekunder dan statusnya lebih rendah dari laki-laki, akibatnya
pendidikan lebih diutamakan pada laki-laki daripada perempuan (Saeful.
2019:17–18).
Sulistiyowati (2020:1-2) menegaskan
bahwa maraknya gerakan dan tuntutan terkait keadilan dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan terdengar
lantang di seluruh dunia. Di Indonesia
sendiri, perjuangan keadilan dan kesetaraan gender dimulai dari R.A. Kartini,
dimana emansipasi merupakan landasan kebebasan perempuan Indonesia untuk
mengenyam pendidikan atas dasar kesetaraan dengan laki-laki.
Meskipun ada upaya terus-menerus
untuk meningkatkan kesetaraan dan kesetaraan gender dalam pendidikan dan
organisasi sosial, isu ini sebenarnya tidak ketinggalan zaman.
Diskriminasi gender masih ada dan memanifestasikan dirinya dalam segala
hal. Tercipta dan berkembangnya stereotip yang menganggap perempuan lebih lemah
dari laki-laki menyebabkan terus munculnya ketidaksetaraan gender di
masyarakat. Budaya patriarki mendorong
perempuan untuk terus ditindas dan dieksploitasi (Sulistiyowati. 2020:
2).
Hegemoni laki-laki atas perempuan
dilegitimasi oleh nilai-nilai sosial, agama, hukum dan kebangsaan dan secara
alami (jelas) disosialisasikan dari generasi ke generasi. Negara Indonesia
sendiri mengikuti hukum hegemoni patriarki, yaitu ayah yang mengatur keluarga.
Itu tidak berakhir di situ, supremasi laki-laki berlanjut di semua bidang sosial
lainnya. Menurut Dalemin Atdmaja (2012:23), ideologi patriarki diwujudkan
melalui struktur sosial ini, yaitu. laki-laki mengatur perempuan dengan cara
yang berbeda, harus dianalisis dari arti kata suami. Dalam istilah Hindu, kata
suami berasal dari bahasa Sanskerta yaitu suami yang berarti pelindung, ayah
yang dihormati dalam keluarga (ideologi kekeluargaan). Oleh karena itu,
laki-laki adalah pemimpin yang memiliki politik dalam keluarga, sedangkan istri
dan anak adalah bawahannya. Jika menilik sejarahnya, hubungan antara laki-laki
dan perempuan mulai berkembang secara timpang (bias) sejak adanya peradaban
berburu. Setiap proses perburuan selalu mengecualikan perempuan, kalaupun ada
perempuan, mereka tidak “diperingatkan”.
Tonggak pertama bagi laki-laki di
sini adalah membangun legitimasi maskulin. Begitu juga dalam peradaban agraris,
yang diwarnai dengan pembagian kekuasaan
antara laki-laki dan perempuan, dimana laki-laki menjadi pemilik kekayaan utama
dan perempuan menjadi bawahannya. Kondisi ini memanifestasikan dirinya dalam
kelompok pemilik tanah di Eropa kuno. Ketimpangan semakin parah ketika peradaban industri muncul pada abad ke-17.
Industri tekstil yang membutuhkan otot laki-laki menjadikan laki-laki sebagai
sumber daya manusia yang utama. Pada saat yang sama, perempuan tinggal di rumah
untuk menyediakan sumber daya bagi laki-laki yang ingin bekerja di pabrik Dalem
Nugroho (2012:94).
Peran-peran
tipe, seperti yang telah disebutkan di atas, kemudian mengarah pada
terbentuknya stereotif. Murniati Dalemi (2012: 94) berpendapat bahwa stereotif
membakukan gagasan tentang bagaimana perempuan "seharusnya" dan
"laki-laki" seharusnya seperti apa. Keduanya tanpa kemampuan untuk
melepaskan diri dari karakteristik atau struktur yang dibentuk oleh masyarakat.
Sikap inilah yang membuat perempuan merasa bersalah saat melakukan tindakan dan
sifat maskulin, atau sebaliknya. Dalam situasi ini, menurut Fakih dalam Dalem
(2012: 94), perempuan merupakan bentuk pemiskinan seksual akibat seks. Hasilnya
adalah ketimpangan kesempatan, partisipasi, pengambilan keputusan, akses terhadap pelayanan kesehatan dan
lain-lain, yang pada gilirannya dapat menimbulkan ketimpangan gender
(ketidaksetaraan gender). Kuatnya dominasi laki-laki sebagai suami merupakan
konstruksi sosial budaya. Sukeni Dalemi (2012: 94) berpendapat bahwa
penderitaan yang dikaitkan dengan kesehatan reproduksi perempuan disebut
sebagai posisi hegemonik budaya patrilineal. Anggapan bahwa wajar bagi
perempuan untuk mengurus anak, mengurus
membesarkan anak bahkan pada tahap
memilih dan menggunakan alat kontrasepsi, merupakan contoh stereotype yang berbasis gender dan
kebenarannya harus dibongkar. Dalam hal ini, orang awam sering salah
mengartikan konstruksi sosial dan kodrat (takdir). Saat ini, program
kependudukan terus menyasar perempuan. Kontrasepsi untuk wanita lebih banyak
dibandingkan pria. Selain sebagai pemilik alat reproduksi (hamil dan
melahirkan), perempuan juga selalu menjadi subjek dari alat kontrasepsi.
Menurut Hendarso, menurut Dalem (2012:94), perempuan dalam kondisi demikian
memiliki beban ganda dibandingkan
laki-laki, yaitu peran produktif dan peran reproduktif. Situasi ini
memperumit masalah fisik, psikologis dan sosial yang terkait dengan fungsi
reproduksi perempuan.
Umiyatun Hayati Triastuti Natasha (2013:
57) berpendapat bahwa penyebab
kesenjangan gender adalah adanya nilai-nilai sosial dan budaya
patriarki. Selain itu, ia juga menyatakan bahwa sebagian masyarakat Indonesia masih menganut pemahaman agama
yang parsial sehingga menyebabkan
perlakuan yang tidak adil terhadap orang berdasarkan jenis kelaminnya. Hal ini
juga didukung oleh Meutia Hatta, bahwa
budaya patriarki yang kuat menimbulkan anggapan bahwa menyekolahkan anak perempuan ke jenjang yang
lebih tinggi tidak ada gunanya. Ia mengatakan bahwa “setinggi mana seorang
wanita bersekolah, pada akhirnya dia akan datang ke dapur. Pemikiran seperti
itu tentu merupakan pemikiran yang sangat picik di zaman yang semakin berkembang ini. Persepsi inilah yang menyebabkan bangsa
kita berjalan di tempat yang salah atau, lebih buruk lagi, tertinggal.
Faktor
lain yang menyebabkan anak perempuan berpendidikan lebih rendah dari anak
laki-laki adalah:
1. Sudah
menjadi tradisi anak perempuan menjadi
ibu rumah tangga, sehingga pendidikan tidak boleh menjadi beban.
2. Meskipun
ada kesempatan, pendidikan harus diutamakan untuk anak laki-laki jika timbul
masalah biaya.
3.
Jika seorang wanita menikah dan mempunyai
anak, ia harus menghentikan pendidikannya demi keluarga.
Faktor penting serupa menjadi
penyebab utama ketidaksetaraan gender di sektor pendidikan. Pertama, pandangan
agama bahwa perempuan adalah bagian dari laki-laki. Artinya laki-laki dikatakan
superior dan perempuan dikatakan inferior yaitu orang-orang yang menjadi
pemimpin laki-laki daripada perempuan. Kedua, berdasarkan pandangan sosiologis
bahwa perempuan adalah rumah. Jadi fakta ini tidak mendukung orang yang
membutuhkan pendidikan tinggi bagi perempuan. Ketiga, pandangan psikologis
tentang posisi perempuan yang mengikuti suaminya tanpa pelatihan lebih lanjut.
Hal ini didukung oleh kepercayaan lama bahwa menikah muda lebih terhormat
daripada menjadi perawan tua. Orang tua memiliki ketakutan tertentu ketika anak
perempuan mereka membutuhkan waktu lama untuk menemukan suami, yang sangat
berbeda dengan perlakuan anak laki-laki mereka. Keempat, pandangan budaya
masyarakat bahwa perempuan bukanlah orang yang membutuhkan pendidikan lebih.
Parahnya lagi, perempuan hanya dipandang sebagai pelengkap laki-laki. Kelima,
dari segi ekonomi, banyak perempuan yang tidak melanjutkan sekolah karena
ketidakmampuan finansial. Bahwa jika ada anak laki-laki dan perempuan, maka
anak laki-laki tersebut diutamakan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang
lebih tinggi. Pada saat yang sama, perempuan segera menikah untuk meringankan
beban keuangan keluarga Natasha (2013:57-58).
Fibrianto (2016:20) menekankan bahwa
perempuan membutuhkan pendidikan sama seperti laki-laki. Itu hasil dari masa
lalu ketika Indonesia masih dijajah. Penjajah tidak menghormati wanita. Mereka
diterapkan secara sewenang-wenang terhadap perempuan di Indonesia. Peristiwa
ini menunjukkan bahwa kesetaraan gender sama sekali tidak dihormati. Dampak
dari kasus ini, pendapat masyarakat setelah kematiannya yaitu ada masyarakat
yang beranggapan bahwa perempuan tidak memiliki kesempatan untuk berperan
sentral dalam berbagai bidang seperti yang dilakukannya sekarang.
Orang
tua dengan pandangan ini menyekolahkan anak laki-lakinya ke sekolah yang
setinggi-tingginya, sedangkan anak perempuan tidak perlu melanjutkan ke
pendidikan yang lebih tinggi. Salah satu penyebab kejadian tersebut adalah
karena orang tua hanya menganggap bahwa peran perempuan dalam kehidupan tidak
lebih dari ibu rumah tangga yang tidak perlu sekolah menengah. Namun kini
pemerintah telah berupaya meningkatkan kesetaraan gender. Hal ini dibuktikan
dengan program pemerataan pendidikan di
seluruh Indonesia, dan banyak generasi penerus bangsa yang merupakan
calon-calon penerus pembangunan negeri ini akan memiliki kesempatan yang sama
untuk mengenyam pendidikan. Selain masalah pendidikan saat ini, dapat dikatakan
bahwa pendapat orang tua kuno yang tidak menyekolahkan anak perempuannya kini
telah berubah. Dapat dilihat bahwa banyak wanita saat ini duduk di perguruan
tinggi. Selain hak atas pendidikan,
Indonesia sebenarnya telah menerapkan kesetaraan gender dalam organisasi,
mulai dari organisasi kecil hingga
pemerintah. Buktinya, perempuan memiliki
peran yang sama dalam tugas-tugas lembaga tertentu. Bukti nyatanya adalah
presiden negara Indonesia yang jabatannya pernah dipegang oleh seorang wanita,
yaitu Megawati Soekarno Putri (Fibrianto
2016:20-21).
Peran
mahasiswa sangat penting dan strategis dalam semua kegiatan pembelajaran. Dalam
rangka mempersiapkan kehidupan yang
demokratis dan egaliter, peran siswa dalam sosialisasi seksual sangatlah
penting. Mahasiswa dituntut untuk dapat menerapkan pengetahuan, sikap dan
keterampilan yang diperoleh dari perkuliahan di perguruan tinggi. Departemen
Ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat merupakan salah satu departemen
organisasi Mata, yang diharapkan dapat
berpartisipasi dalam pembentukan mahasiswa yang dapat menjelaskan konsep dan
posisi gender, menemukan isu gender dalam pembangunan dan memilih metode yang
efektif untuk penelitian berbasis gender. Sampai saat ini isu gender masih
didominasi oleh perspektif perempuan, sedangkan perspektif laki-laki belum
banyak dibicarakan.
Persepsi
siswa tentang pembagian peran adalah pendapat siswa tentang perkembangan
karakter tertentu, biasanya ditugaskan pada jenis kelamin tertentu. Mahasiswa
laki-laki semakin banyak yang menerima kesadaran gender karena ingin merubah sikap negatif dari mereka yang
terkesan selalu menindas perempuan, terutama dalam bidang pembagian peran,
mereka terima ketika mahasiswa perempuan menjadi pemimpin organisasi. “Laki-laki
juga bisa mengurus anak dan keperluan rumah tangga, karena teknologi modern
sudah berkembang, jadi tidak ada lagi alasan laki-laki tidak bisa mengurus anak.”
KESIMPULAN
Perspektif gender dalam pendidikan, kesetaraan
gender merupakan kegiatan atau proses yang memadukan satu komponen dengan
komponen lainnya untuk mencapai pendidikan yang lebih baik. Mengenai persiapan
pelatihan, penyampaian, evaluasi dan kegiatan penyempurnaan. Kesetaraan gender
merupakan isu penting dalam proses pendidikan karena tujuan utamanya adalah
meningkatkan kualitas sumber daya manusia, khususnya perempuan. Beberapa orang
berpikir Gender itu sendiri memiliki banyak segi dan sering disalah pahami. Namun
dapat disimpulkan bahwa gender adalah sebuah konsep digunakan untuk
mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam kaitannya
dengan pengaruh sosial budaya, yang dalam hal ini adalah suatu bentuk
perencanaan masyarakat (struktur sosial) dan tidak alami.
Faktor gender terkait dengan proses kepercayaan
sebagaimana mestinya laki-laki dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan
nilai-nilai yang telah ditetapkan dikonstruksi dan menjadi aturan sosial budaya
di mana mereka berada. Jadi perbedaan gender bisa berubah kapan saja, di mana
saja tergantung waktu dan budaya setempat karena tidak alami dari sekedar
buatan manusia. Jadi semua orang menunggu untuk itu keadilan gender atau
kesetaraan dimana setiap laki-laki dan perempuan mendapatkan kondisi yang sama,
mendapatkan kesempatan dan hak sebagai masyarakat agar dapat berperan dan
terlibat dalam kegiatan Politik, Hukum, Ekonomi, Sosial Budaya, Pendidikan dan
Pertahanan Keamanan Nasional.
Beberapa aspek kehidupan yang menunjukkan adanya
kesetaraan gender yang dilakukan siswa dalam proses sosial adalah interaksi dan
komunikasi antara laki-laki dan perempuan, tidak ada perbedaan antara laki-laki
dan perempuan, semua orang sama. Kesetaraan gender dalam dunia pendidikan harus
diwujudkan karena dapat memberikan dampak positif bagi kemajuan dunia dan
peserta didiknya. Mengutamakan kesetaraan gender dalam dunia pendidikan, siswa
laki-laki tidak merasa lebih unggul dari perempuan dalam mengikuti bidang ini.
Di sisi lain, siswa perempuan tidak merasa rendah diri dengan laki-laki.
Semakin setara laki-laki dan perempuan berperan dalam dunia pendidikan, maka
semakin kecil kesenjangan antara laki-laki dan perempuan dalam dunia
pendidikan. Sebaliknya, semakin setara laki-laki dan perempuan dalam dunia
pendidikan, semakin mudah bagi mereka untuk mencapai pembangunan bangsa
yang lebih baik.
SARAN
Demikian essay yang kami tulis. Diharapkan pembaca dapat
memahami materi yang kami uraikan. Kami menyadari akan kekurangan yang terdapat dalam tulisan ini. Pembaca diharapkan dapat mengkaji kembali tentang kesetaraan
gender dalam perspektif mahasiswa dengan sumber kajian materi yang lebih
lengkap.
DAFTAR PUSTAKA
Aldianton, Rudi, dkk.
2015. Kesetaraan Gender Masyarakat Transmigrasi Etnis Jawa. Journal
Equilibrium. 3 (1).
Dalem, Dewa Nyoman. 2012.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Bias Gender penggunaan Kontrasepsi Pada Pasangan
Usia Subur di Desa Dawan Kaler Kecamatan Dawan Klungkung. Paramida.
3 (2).
Fibrianto, Alan
Sigit. 2016. Kesetaraan Gender Dalam Lingkup Organisasi Mahasiswa Universitas Sebelas
Maret Surakarta Tahun 2016. Journal Analisa Sosiologi. 5 (1).
Natasha, Harum. 2013.
Ketidaksetaraan Gender Bidang Pendidikan: Faktor Penyebab, Dampak, dan Solusi. Marwah.
12 (1).
Qomariah, Dede Nurul.
2019. Persepsi Masyarakat Mengenai Kesetaraan Gender Dalam Keluarga. Jurnal
Cendekiawan Ilmiah. 4 (2).
Saeful, Achmad. 2019.
Kesetaraan Gender Dalam Dunia Pendidikan. Terbawi. 11.
Sulistyocuati, Yuni. 2020. Keseteraan Gender Dalam Lingkup Pendidikan dan Tata Sosial. Journal of Gender Studies. 1 (2).
Tidak ada komentar: