PERAN MAHASISWA DALAM MEMERANGI KEKERASAN SEKSUAL DI PERGURUAN TINGGI
1SDA5
Disusun Oleh:
1. Daniel 221330001109
2. Ani Suryani 221330001126
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA JEPARA
TAHUN AKADEMIK 2022/2023
PERAN MAHASISWA DALAM MEMERANGI KEKERASAN SEKSUAL DI
PERGURUAN TINGGI
Oleh
Daniel 1 Ani Suryani 2
Program
Studi Pendidikan Guru Sekolah DasarFakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Universitas Islam Nahdlatul Ulama’
Jepara (UNISNU Jepara)
PENDAHULUAN
Hubungan sosial yang terjadi dalam
kehidupan menghasilkan berbagai dampak untuk kehidupan selanjutnya. Dampak yang
didapat berupa dampak positif maupun dampak negatif. Dampak negatif yang
didapatkan terjadi karena adanya kesalahpahaman atau pengingkaran yang
dilakukan dalam menjalin hubungan sosial sesama manusia. Kesalahpahaman yang
terjadi dapat menciptakan sebuah kekerasan. Kekerasan merupakan tindakan atau
perlakuan tercela yang dilakukan kepada seseorang. Tindak kekerasan merupakan
tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan norma yang berlaku.
Di Indonesia, tindak kekerasan sudah diatur dalam undang-undang yang berlaku
beserta sanksi hukum yang akan diterima. Untuk kekerasan dalam bermasyarakat,
sanksi yang diterima juga dalam lingkup masyarakat. Pelaku tindak kekerasan
akan dikucilkan dalam lingkungannya.
Tindak kekerasan terjadi dalam semua
kalangan, dari anak-anak, pelajar atau mahasiswa, sampai orang dewasa. Kekerasan
yang dialami kalangan pelajar atau mahasiswa banyak terjadi di lingkungan
sekolah atau universitas. Pelakunya sebagian besar adalah mereka yang hidup
dalam lingkungan tersebut. Pelaku kekerasan di lingkungan sekolah dan
universitas berasal dari pendidik sampai tenaga pendidik. Kekerasan yang
terjadi di lingkungan pendidikan berwujud bulliying dan kekerasan
seksual. Kekerasan seksual inilah yang menjadi momok dalam pendidikan di
Indonesia. Kekerasan seksual memberikan pengaruh besar pada perkembangan
pendidikan di Indonesia. Korban kekerasan seksual mengalami dampak fisik dan
mental. Para siswa dan mahasiswa yang menjadi korban kekerasan seksual
mengalami tekanan yang sangat besar dan berdampak pada pendidikan yang
dijalani. Sedangkan pelaku kekerasan seksual semakin meraja lela dan jumlahnya
semakin banyak. Hal ini masih menjadi PR dalam sistem pendidikan dan
pemerintahan di Indonesia.
Sebagai generasi perubahan, peran
mahasiswa sangat diperlukan untuk membantu menghentikan kekerasan yang terjadi
di lingkungan pendidikan. Mahasiswa mempunyai suara yang kuat untuk melakukan
perubahan dalam semua aspek kehidupan. Sebagai mahasiswa, kita dapat memulai
perubahan dari diri kita sendiri. Dengan menanamkan sikap yang bernilai
Pancasila, kita akan selalu berpikir dalam bertindak dan menghindari tindak
kekerasan. Peran mahasiswa dalam memerangi kekerasan dapat dimulai di
lingkungan Perguruan Tinggi yang merupakan lingkungan pendidikan yang
ditempati. Kekerasan dalam perguruan tinggi menjadi target utama dalam misi
perubahan sebagai mahasiswa. Tingginya tingkat kekerasan di Perguruan Tinggi
harus menjadi perhatian utama oleh semua unsur yang berperan. Mahasiswa harus
mampu menggerakkan perubahan untuk mengurangi tingkat kekerasan yang terjadi.
Sikap-sikap nyata sangat diperlukan untuk memerangi kekerasan yang terjadi di
Perguruan Tinggi. Sikap ini berupa peningkatan fokus dalam belajar, perbaikan
budaya komunitas dalam Perguruan Tinggi, penguatan tata kelola Perguruan
Tinggi, dan tindakan positif lainnya.
PEMBAHASAN
Kata “kekerasan” sering digunakan
untuk menggambarkan berbagai hal yang berkaitan dengan perlakuan atau tindakan
yang dianggap tidak nyaman, tidak manusiawi, bertentangan dengan norma/nilai
atau hukum tertentu, atau bertentangan dengan kehendak kita. Kata ini kemudian
dipredikat atau dilampirkan pada kata lain untuk menjelaskan permasalahan perlakuan
atau tindakan di atas dalam konteks tertentu, seperti kekerasan politik,
kekerasan ekonomi, kekerasan budaya, kekerasan struktural, kekerasan negara,
kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan terhadap perempuan, kekerasan terhadap
anak dll. Dan dalam setiap terminologi baru ini, teori, konsep, hukum, atau
bahkan doktrin baru ini dibangun di sekitar apa yang dimaksud dengan
“kekerasan”. Makarim (2014:1).
Kekerasan berarti penganiayaan,
penyiksaan atau perlakuan tidak adil. Menurut Reza dalam Setiawan (2017:19)
Kekerasan adalah penggunaan ancaman atau penggunaan kekuatan dan kekuasaan
fisik terhadap diri sendiri, individu atau kelompok orang, atau masyarakat yang
mengakibatkan atau dapat mengakibatkan memar/trauma, kematian, cacat mental,
cacat perkembangan atau cacat. Betul sekali. Secara bahasa, kekerasan
(violence) dimaknai sebagai penyerangan
atau penyerangan (attack) terhadap keutuhan fisik dan mental-spiritual
seseorang. Sedangkan istilah force atau kekerasan menurut Galtung berasal dari
bahasa latin vis vis yang berarti daya tahan atau kekuatan atau latus yang
berarti membawa, sehingga secara harfiah dapat diartikan sebagai kekuatan atau
kekuatan untuk membawa. Kekerasan adalah penggunaan kekuatan yang tidak adil
dan tidak dapat dibenarkan disertai dengan emosi atau kemarahan yang kuat yang
tidak dapat dikendalikan, tiba-tiba, kuat, kasar dan menyerang.
Anjari (2014:43), menyatakan bahwa
menurut John Hagan, kekerasan adalah Violencia (Kolombia), vendetta barbaricina
(Italia), La vidavale nada (El Salvador). Ini adalah bentuk tindakan seseorang
terhadap pihak lain, yang mengarah pada generasi rasa sakit dan perubahan fisik
dan psikologis. Sedangkan menurut Robert Audi, kekerasan adalah serangan atau
penyalahgunaan kekuatan fisik terhadap seseorang atau binatang; Penyerangan
atau penghancuran, penghancuran yang sangat keras, kekerasan, kejam dan kejam
terhadap harta benda atau properti yang mungkin milik seseorang. Kekerasan
menunjukkan bahwa tekanan diterapkan di luar kemampuan korban kekerasan dan
dapat mengakibatkan kerugian fisik, psikologis, atau emosional. Dan menurut
Kadish, kekerasan adalah:All types of illegal behavior, either threatened or
actual that result in the damage or destruction of property or in the injury or
death of individual. “ Segala perbuatan melawan hukum, baik yang mengancam
maupun nyata, yang mengakibatkan kerusakan atau kehancuran harta benda atau
cedera atau kematian seseorang”.
Dalam bahasa Inggris, Cambridge
Advanced Learner's Dictionary mendefinisikan kata "kekerasan" sebagai
berikut:
1. Kekerasan (kata benda), artinya: “1. tindakan atau
kata-kata yang dimaksudkan untuk menyakiti orang;
2. Kekerasan ekstrim;" Pelanggaran (adj), artinya
"1. penggunaan kekuatan untuk melukai atau menyerang; 2. menggambarkan situasi
atau peristiwa di mana orang terluka atau terbunuh; 3). Tiba-tiba dan kuat; dan
3. Pelanggaran (kata benda) berarti “perbuatan yang
melanggar atau melawan sesuatu, terutama undang-undang, perjanjian, asas atau
sesuatu yang harus diperlakukan dengan hormat. Dalam pengertian bahasa Inggris
di atas, pengertian “kekerasan” ditekankan pada kata “tindakan” (actions),
keputusan/kebijakan/aturan (actions), dan “statements” (kata-kata) yang
melibatkan penggunaan “violence” (kekerasan) yang “melawan (sesuatu) yang
dimaksudkan untuk melukai/membunuh, yang ekstrim, yang melanggar hukum,
konvensi, prinsip, atau sesuatu yang harus diperlakukan dengan hormat) Makarim
(2014:2).
Kekerasan terjadi di semua tingkatan
lingkungan. Kekerasan bisa terjadi di lingkungan pemerintahan, masyarakat,
keluarga, hingga lingkungan pendidikan tempat menuntut ilmu. Dalam lingkungan
pendidikan, banyak terjadi kekerasan seksual yang dilakukan oleh murid hingga
guru yang berperan sebagai tenaga pendidik. Kekerasan seksual di tingkatan Perguruan
Tinggi banyak dilakukan oleh oknum yang sudah kehilangan akal sehatnya. Para
pelaku dari jajaran mahasiswa sampai dosen melakukan kekerasan seksual tanpa
memikirkan dampak yang diterima oleh korban.
Kekerasan seksual adalah setiap
perbuatan mulai dari pelecehan seksual sampai pemaksaan hubungan seksual tanpa
persetujuan korban atau ketika korban tidak menginginkannya dan/atau melakukan
hubungan seksual dengan cara yang tidak wajar atau tidak diinginkan.
Mengorbankan dan menjauh dari kebutuhan seksual mereka. Kekerasan seksual
adalah suatu tindakan, baik dalam perkataan maupun perbuatan, yang dilakukan
seseorang dengan maksud untuk mengontrol dan mendorong orang lain untuk
melakukan aktivitas seksual padahal orang tersebut tidak menginginkan aktivitas
tersebut. Kekerasan seksual memiliki dua unsur penting, pertama adanya unsur
pemaksaan atau penolakan oleh pihak lain, dan kedua, korban tidak mampu atau
tidak mampu memberikan persetujuan. Hanifah dalam Alpian (2022:73).
Alpian
(2022:74) menyebutkan bahwa Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU
PKS) menyatakan bahwa kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang menghina,
merendahkan, menyinggung dan/atau tindakan lain terhadap tubuh, hasrat seksual
dan/atau kemampuan reproduksi seseorang yang menggunakan kekerasan. Yang bertentangan dengan kehendak
seseorang dan mengakibatkan ketidakmampuan orang tersebut untuk memberikan
persetujuannya di ruang bebas karena ketidak seimbangan kekuasaan dan/atau
relasi gender, yang mengarah atau dapat mengarah pada hal tersebut menyebabkan
kerugian fisik, psikologis, seksual, ekonomi, sosial, budaya atau politik,
penderitaan atau kesusahan.
Ishak (2020: 136-137) menyatakan pelecehan
seksual adalah bagian dari diskriminasi gender. Beberapa negara telah
berkomitmen untuk mengakhiri seksisme dan diskriminasi gender dalam dunia
pendidikan. Namun sayangnya, masih banyak laporan pelecehan seksual di sektor
pendidikan, khususnya di perguruan tinggi, Sihombing dalam Ishak . Sedangkan menurut
Andini Berdasarkan penelitian sebelumnya, ditemukan bahwa wanita yang
berpendidikan tinggi lebih mungkin mengalami pelecehan seksual daripada wanita
yang tidak berpendidikan. Itu terlalu tinggi. Banyak perempuan melaporkan
pelecehan dalam pendidikan, terlepas dari statusnya, baik sebagai siswa,
karyawan, atau sebagai bagian dari guru. Banyak siswa mengalami pelecehan
seksual selama studi mereka. Hal ini kemudian dapat menyebabkan penurunan
kualitas kesehatan mental, kesehatan fisik dan prestasi akademik, Reitanza
dalam Ishak. Terbukti banyak mahasiswa S1 yang mengalami pelecehan seksual
selama masa sekolah. Korban pelecehan seksual dapat mengalami pelecehan dari
berbagai pihak seperti teman, rekan kerja atau bahkan guru sekolah, Bahri.
Dampak negatif korban pelecehan seksual antara lain depresi, gangguan stres
pasca trauma (PTSD), rasa malu, penggunaan alkohol hingga mengganggu
pembelajaran di sekolah. Tentunya sekolah yang menjadi tempat pelecehan seksual
harus segera mengusut kasus pelecehan dan menangani permasalahan yang muncul, Hikmah
dalam Ishak . Ketika universitas gagal menangani isu-isu yang berkaitan dengan
pelecehan seksual, trauma yang dialami oleh para korban pelecehan akan semakin parah.
Salah satu bentuk kekerasan adalah pelecehan seksual. Pelecehan seksual
adalah perilaku atau pandangan seksual seseorang yang tidak diinginkan oleh
orang tersebut dan mengakibatkan pelecehan terhadap penerima pelecehan.
Pelecehan seksual termasuk, namun tidak terbatas pada, pembayaran seksual
ketika menginginkan sesuatu, pemaksaan untuk melakukan aktivitas seksual,
komentar yang merendahkan tentang orientasi seksual atau seksualitas, ajakan
melakukan tindakan seksual yang disukai pelaku dalam bentuk bahasa atau
perilaku yang dimilikinya. Makna jenis kelamin; Semua hal ini dapat
diklasifikasikan sebagai pelecehan seksual. Banyak faktor yang membuat korban
sulit mengenali dan menerima pelecehan seksual yang dialaminya, antara lain
bingung, tidak tahu bagaimana menggambarkan apa yang terjadi pada diri sendiri,
malu, menyalahkan orang lain dan viktimisasi. Rasa bersalah, seperti pakaian
yang salah, perhatian pada gaya hidup dan kehidupan pribadi, menyalahkan diri
sendiri, perasaan bahwa dia seharusnya bisa menghentikan intimidasi,
penyangkalan, tidak ingin percaya bahwa itu benar-benar terjadi, minimisasi
atau mekanisme pertahanan. Masalah besar, aku terlalu sensitif. (Triwijati
dalam Alpian, 2022:75) hal
ini karena orang lain mengatakan bahwa dia harus berperilaku seperti itu karena
mereka takut orang-orang di sekitarnya akan mengasingkan dan tidak menyukainya.
Korban kekerasan seksual biasanya
tidak melaporkan kasusnya ke penegak hukum dengan alasan dasar hukumnya tidak
kuat, hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku tidak proporsional, dan tidak ada
perlindungan bagi korban. Selain itu, rasa takut dan sulitnya mendapatkan bukti
membuat penyintas enggan untuk diadili. Selain rumitnya proses hukum dan
minimnya perlindungan bagi korban, lembaga-lembaga tersebut harus berperan
aktif dalam hal ini. Namun dalam praktiknya, institusi pendidikan mengabaikan
perlindungan korban bahkan terkesan ingin menyembunyikan kasus-kasus yang
muncul karena berkaitan dengan rusaknya reputasi sekolah atau perguruan tinggi.
Bagaimana peran mahasiswa khususnya
dalam organisasi kemahasiswaan menghadapi isu meningkatnya kasus kekerasan
seksual di lingkungan kampus yang dapat dimasuki banyak mahasiswa untuk
belajar, memahami, mempertahankan dan memperjuangkan eksistensinya? Seperti
yang kita ketahui, peran organisasi kemahasiswaan sangat dibutuhkan dalam
kehidupan kampus maupun di kalangan mahasiswa. Mewakili generasi penerus
bangsa, mahasiswa diharapkan mampu membawa perubahan yang baik bagi masyarakat
dan negaranya. Mahasiswa tidak hanya berperan sebagai orang yang mempelajari
ilmu akademik di perguruan tinggi, tetapi mahasiswa juga harus ikut serta dalam
penuntutan yang adil terhadap korban pelecehan kampus. Bagi dirinya sendiri,
tetapi juga bagi masyarakat, bangsa dan negara. Berikut beberapa peran
mahasiswa diantaranya mahasiswa sebagai bengkel besi, mahasiswa sebagai agen
perubahan, mahasiswa sebagai penjaga nilai, mahasiswa sebagai kekuatan moral,
mahasiswa sebagai pengendali sosial. Terkait dengan kekerasan seksual, mahasiswa merupakan salah satu yang
berperan penting dalam pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual.
Pencegahan yang dapat dilakukan mahasiswa
dapat dimulai dari diri sendiri, misalnya. Menjaga hubungan sosial, selalu
memperhatikan, belajar dari kasus yang ada dan melawan. Jika kita melakukan
pencegahan terhadap diri kita sendiri seperti di atas, maka proporsi mereka
yang mengalami kekerasan seksual sangatlah kecil. Kemudian kita sebagai
mahasiswa yang berperan sebagai salah satu pemberi pengaruh perubahan. Kita
bisa menjadi pionir ketika berbicara tentang kekerasan gender. Voting dapat
dilakukan di sini melalui diskusi antar siswa. Setelah itu hasil diskusi dapat
diterapkan secara langsung maupun tidak langsung. Contohnya adalah ketika kita
membuat poster bertuliskan “Hentikan Kekerasan Seksual” dan membagikannya di
jejaring sosial, lalu “tag” atau mention institusi yang menangani masalah
kekerasan seksual. Selain itu, kami siswa juga dapat mendukung pemulihan
“keadaan telanjang” atau “kerusakan mental” korban. Karena lingkungan juga
memiliki pengaruh yang besar terhadap korban. Banyak cara yang dapat dilakukan
mahasiswa untuk membantu penerapan hukum yang adil, termasuk menyediakan tempat
bagi korban untuk melaporkan pengalaman kekerasannya tanpa mengintimidasi
korban. Jika mahasiswa pernah bekerja dalam penegakan hukum, mereka harus mampu
memberikan pelayanan, perlindungan dan perlindungan yang baik kepada korban dan
masyarakat, serta menghukum pelaku kekerasan seksual seadil-adilnya.
Mahasiswa harus mampu beradaptasi
dengan cepat dan tepat untuk disebut sebagai agen perubahan. Seperti namanya,
siswa harus belajar dengan serius untuk menerapkan pengetahuan ini dalam
kehidupan sehari-hari, tidak hanya dalam studi mereka. Karena di dalam gelar
ini tersimpan harapan untuk perubahan bangsa yang lebih baik. Di sini,
mahasiswa diharapkan menjadi motor penggerak perubahan ke arah yang lebih baik.
Dengan demikian, mahasiswa memegang peranan yang sangat penting dalam
pelaksanaan penegakan hukum yang adil. Mahasiswa juga harus ikut serta mencegah
kekerasan seksual di kampus dengan melindungi diri dari perilaku yang memalukan
tersebut.
Sesuai dengan kasus di atas Faturani
(2022: 482-483) menyatakan bahwa, jenis-jenis tindak kekerasan seksual di
lingkungan perguruan tinggisedangkan di dalam Pasal 5 Permendikbud Nomor 30
Tahun 2021 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di Lingkungan
Perguruan Tinggi ditentukan jenis-jenis kekerasan seksual sebagai berikut:
1) Kekerasan
seksual mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik,
dan/atau melalui teknologi informasi dan komunikasi.
2) Kekerasan
seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a) Menyampaikan
ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh,
dan/atau identitas gender korban;
b) Memperlihatkan
alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan korban;
c) Menyampaikan
ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual pada
korban;
d) Menatap
korban dengan nuansa seksual dan/atau tidak nyaman;
e) Mengirimkan
pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video bernuansa seksual tanpa
persetujuan korban meskipun sudah dilarang korban;
f) Mengambil,
merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual
korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban;
g) Mengunggah
foto tubuh dan/atau informasi pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa
persetujuan korban;
h) Menyebarkan
informasi terkait tubuh dan/atau pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa
persetujuan korban;
i) Mengintip
atau dengan sengaja melihat korban yang sedang melakukan kegiatan secara
pribadi dan/atau pada ruang yang bersifat pribadi;
j) Membujuk,
menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam korban untuk melakukan
transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh korban;
k) Memberi
hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual
l) Menyentuh,
mengusap, meraba, memegang , memeluk, mencium, dan/atau menggosokan bagian
tubuhnya pada tubuh korban tanpa persetujuan korban;
m) Membuka
pakaian korban tanpa persetujuan korban;
n) Memaksa
korban untuk melakukan kegiatan seksual;
o) Mempraktikan
budaya komunitas Mahasiswa, Pendidik, dan yenaga Kependidikan yang bernuansa
seksual;
p) Melakukan
percobaan perkosaan, namun penetrasi tidak terjadi;
q) Melakuka
perkosaan termasuk penetrasi dengan benda atau bagian yubuh selain alat
kelamin;
r) Memaksa
atau memperdayai korban untuk melakukan aborsi;
s) Memaksa
atau memperdayai korban untuk hamil;
t) Membiarkan
terjadinya kekerasan seksual dengan sengaja; fan/atau
u) Melakukan
perbuatan kekerasan seksual lainnya.
(1) Persetujuan
Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf f, huruf g, huruf h,
huruf l, dan huruf m, dianggap tidak sah dalam hal korban:
a. Memiliki
usia belum dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan undang-undang;
b. Mengalami
situasi dimana pelaku mengancam, memaksa, dan/atau menyalahgunakan
kedudukannya;
c. Mengalami
kondisi di bawah pengaruh obat-obatan, alkohol, dan/atau narkoba;
d. Mengalami
sakit, tidak sadar, atau tertidur;
e. Memiliki
kondisi psikologis yang rentan;
f. Mengalami
kelumpuhan sementar (tonic immobility); dan/atau
g. Mengalami
kondisi terguncang.10
Berdasarkan pengertian diatas, maka
dapat ditarik suatu garis besar bahwa kekerasan seksual merupakan suatu
tindakan yang menggunakan fisik, non fisik, dan verbal, yang terjadi jika
seseorang merasa terpaksa melakukan suatu hal diluar kehendaknya. Kementerian
Pendidikan Hamid (2022:47) mengklaim bahwa sinonim antisipasi adalah
pencegahan. Oleh karena itu pencegahan adalah upaya berupa tindakan, cara, proses
yang dilakukan sedemikian rupa agar seseorang atau sekelompok orang tidak
melakukan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Pencegahan berasal
dari kata prevent yang artinya mencegah agar tidak menahan sesuatu, mencegah
agar tidak terjadi. Pencegahan Berarti Proses, Metode, Pencegahan, Pencegahan,
Penolakan Pengolahan kata identik dengan penyelesaian. Maka upaya untuk
berdamai dengannya adalah upaya dalam bentuk tindakan, metode, proses untuk
menangani kekerasan seksual di lingkungan universitas. Upaya penelitian adalah
upaya berupa tindakan, metode, proses yang dilakukan perguruan tinggi untuk
memantau laporan kekerasan seksual. Dalam pengaturan tersier. Penelitian
berarti proses, metode, tindakan penyelidikan, pemeriksaan hasil (penerimaan), penyelidikan,
penelitian, penyelidikan (kasus, dll).
Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan
Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi bertujuan untuk memberikan pedoman dasar
kepada perguruan tinggi tentang pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual
dalam rangka implementasi kebijakan dan operasi. Perencanaan mengakui.
Tridharma di dalam maupun di luar kampus. , dan mempromosikan kehidupan kampus
yang manusiawi, bermartabat, egaliter, inklusif, kooperatif, tanpa kekerasan di
kalangan mahasiswa, fakultas, fakultas, dan warga kampus. Oleh karena itu,
tindakan kekerasan selain pemerkosaan yang dilakukan di perguruan tinggi berada
di bawah yurisdiksi polisi dan bukan perguruan tinggi. Sangat tidak sejalan
dengan tindak pidana kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi, namun
seharusnya juga menjadi kewenangan pihak kepolisian untuk mengambil tindakan
hukum sesuai undang-undang yang ada dimana hukumannya sangat jelas. Kejadian
ilegal di perguruan tinggi harus diserahkan ke pihak kepolisian, sedangkan
hal-hal yang melanggar tata tertib perguruan tinggi dilaporkan ke komite etik
yang sanksinya juga jelas. Khusus untuk Perguruan Tinggi Negeri yang tunduk
pada UU Nomor 5 tentang Aparatur Sipil Tahun 2014 dan UU Sisdiknas 2003, UU
Dikti 2012 serta peraturan perundang-undangan lainnya. Tujuan hukum menjadi
melindungi semua warga negara sekaligus mematuhi hukum ketika melakukan
pelanggaran untuk mendapatkan hukuman pidana yang sesuai dengan kejahatan atau
pelanggaran tersebut (Hamid, 2022: 47-48).
Puspita dkk. (2022: 17) Pengungkapan
pencegahan kekerasan seksual oleh pendidik dan tenaga kependidikan membatasi
pertemuan individu, antara lain:
a. Batasi
pertemuan dengan masing-masing siswa:
1) di luar kampus;
2) Di luar jam buka kampus; dan atau
3) untuk tujuan selain pembelajaran
tanpa persetujuan direktur/kepala program pendidikan atau kepala departemen;
dan
b. Berperan
aktif dalam pencegahan kekerasan seksual. Dalam hal pelatih adalah
direktur/kepala program pelatihan atau kepala departemen, persetujuan rapat
harus diberikan oleh pelatih direktur/kepala program pelatihan atau kepala
departemen. Dibuat dengan ketentuan sebagai berikut:
a) pendidik dan/atau guru mengirimkan
permintaan persetujuan secara tertulis atau melalui sarana elektronik untuk
pertemuan terjadwal dengan siswa; dan
b. Permintaan persetujuan terkait
dikirim ke kepala program sarjana/kepala program sarjana atau kepada kepala
departemen sebelum pertemuan.
Jika pertemuan individu mahasiswa di
luar area kampus atau di luar jam buka kampus dan/atau untuk tujuan selain
pembelajaran tidak dapat dihindari, hal itu harus dilakukan dengan persetujuan
direktur. Jurusan atau kepala jurusan. Permohonan persetujuan rencana pertemuan
mahasiswa dilakukan secara tertulis atau dengan sarana elektronik, yang
meliputi informasi:
a) nama dan informasi kontak anggota
rapat;
b) lokasi;
c. Waktu;yaitu Durasi; dan
d) Tujuan rapat;
Mencegah kekerasan seksual siswa
Mencegah kekerasan seksual siswa dengan membatasi pertemuan individu meliputi:
a.
Batasi sesi dengan guru dan staf
pendidikan secara terpisah:
1) Di luar kampus;
2) Di luar jam buka kampus; dan atau
3) untuk tujuan selain pembelajaran
tanpa persetujuan direktur/kepala program pendidikan atau kepala departemen;
dan
b. Berperan
aktif dalam pencegahan kekerasan seksual. Perjanjian diskusi pribadi dibuat
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Permohonan
persetujuan jadwal pertemuan guru dan/atau guru diajukan oleh siswa secara
tertulis atau elektronik; dan
b.
Permohonan persetujuan diajukan kepada
ketua program sarjana/ketua program sarjana atau kepada ketua jurusan sebelum
rapat.
Dalam
hal pertemuan dosen dan fakultas secara tatap muka dijadwalkan di luar kampus
atau di luar jam kampus dan/atau untuk tujuan selain pembelajaran, hal itu
harus dilakukan dengan persetujuan Direktur. / Ketua program studi atau ketua
jurusan. Permohonan persetujuan jadwal rapat dilakukan secara tertulis atau
elektronik, yang memuat informasi sebagai berikut:
a) nama dan informasi kontak anggota
rapat;
b. Lokasi;
c. Waktu;
yaitu Durasi; dan
e. tujuan pertemuan.
SIMPULAN
Kekerasan sering digunakan untuk menggambarkan
berbagai hal yang berkaitan dengan perlakuan atau tindakan yang bertentangan
dengan norma/nilai atau hukum tertentu, atau bertentangan dengan kehendak kita.
Kekerasan berarti penganiayaan, penyiksaan atau perlakuan tidak adil. Wujud
dari kekerasan yaitu penggunaan ancaman atau penggunaan kekuatan dan kekuasaan
fisik terhadap diri sendiri, individu atau kelompok orang, atau masyarakat yang
mengakibatkan atau dapat mengakibatkan memar/trauma, kematian, cacat mental,
cacat perkembangan atau cacat. Di Indonesia kekerasan sudah menjadi tindak
kejahatan yang telah ditetapkan sanksinya oleh undang-undang ataupun norma yang
berlaku. Kejahatan kekerasan ini telah dilakukan dari lingkungan pemerintah
sampai lingkungan pendidikan. Jika kekerasan sudah mencapai lingkungan
pendidikan, maka keadaan tersebut sangat berbahaya dalam kelangsungan proses pendidikan
di Indonesia. Sampai saat ini, sudah banyak kasus kekerasan seksual yang
terjadi di lingkungan pendidikan terutama Perguruan Tinggi. Kekerasan seksual
di lingkungan Perguruan Tinggi mulai dilakukan oleh warga yang menghuni
lingkungan tersebut.
Kekerasan
seksual adalah setiap perbuatan mulai dari pelecehan seksual sampai pemaksaan
hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau ketika korban tidak
menginginkannya dan/atau melakukan hubungan seksual dengan cara yang tidak
wajar atau tidak diinginkan. Kekerasan seksual berupa suatu tindakan, baik
dalam perkataan maupun perbuatan, yang dilakukan seseorang dengan maksud untuk
mengontrol dan mendorong orang lain untuk melakukan aktivitas seksual padahal
orang tersebut tidak menginginkan aktivitas tersebut. Undang-undang Penghapusan
Kekerasan Seksual (RUU PKS) menyatakan bahwa kekerasan seksual adalah setiap
perbuatan yang menghina, merendahkan, menyinggung dan/atau tindakan lain
terhadap tubuh, hasrat seksual dan/atau kemampuan reproduksi seseorang yang
menggunakan kekerasan.
Banyaknya kekerasan
seksual di lingkungan pendidikan mengakibatkan munculnya hambatan dalam
kemajuan pendidikan di Indonesia. Unsur pendidikan yang menjadi korban
kekerasan seksual akan mengalami trauma untuk melanjutkan hidup di lingkungan
tersebut. Banyak perempuan melaporkan pelecehan dalam pendidikan, terlepas dari
statusnya, baik sebagai siswa, karyawan, atau sebagai bagian dari guru. Banyak
siswa mengalami pelecehan seksual selama studi mereka. Hal ini kemudian dapat
menyebabkan penurunan kualitas kesehatan mental, kesehatan fisik dan prestasi
akademik. Terbukti banyak mahasiswa S1 yang mengalami pelecehan seksual selama
masa sekolah. Dampak negatif korban pelecehan seksual antara lain depresi,
gangguan stres pasca trauma (PTSD), rasa malu, penggunaan alkohol hingga
mengganggu pembelajaran di sekolah. Tentunya sekolah yang menjadi tempat
pelecehan seksual harus segera mengusut kasus pelecehan dan menangani
permasalahan yang muncul. Ketika universitas gagal menangani isu-isu yang
berkaitan dengan pelecehan seksual, trauma yang dialami oleh para korban
pelecehan akan semakin parah.
Mahasiswa yang merupakan
generasi perubahan harus mampu mengatasi masalah kekerasan yang terjadi di
lingkungan Perguruan Tinggi. Peran mahasiswa khususnya dalam organisasi
kemahasiswaan menghadapi isu meningkatnya kasus kekerasan seksual di lingkungan
kampus yang dapat dimasuki banyak mahasiswa untuk belajar, memahami,
mempertahankan dan memperjuangkan eksistensinya. Mewakili generasi penerus
bangsa, mahasiswa diharapkan mampu membawa perubahan yang baik bagi masyarakat
dan negaranya. Mahasiswa tidak hanya berperan sebagai orang yang mempelajari
ilmu akademik di perguruan tinggi, tetapi mahasiswa juga harus ikut serta dalam
penuntutan yang adil terhadap korban pelecehan kampus. Pencegahan dapat dimulai
dari diri sendiri, misalnya. Menjaga hubungan sosial, selalu memperhatikan,
belajar dari kasus yang ada dan melawan. Sebagai mahasiswa, kita bisa menjadi
pionir ketika berbicara tentang kekerasan gender. Voting dapat dilakukan di
sini melalui diskusi antar siswa. Setelah itu hasil diskusi dapat diterapkan
secara langsung maupun tidak langsung. Mahasiswa diharapkan menjadi motor
penggerak perubahan ke arah yang lebih baik. Dengan demikian, mahasiswa
memegang peranan yang sangat penting dalam pelaksanaan penegakan hukum yang
adil. Mahasiswa juga harus ikut serta mencegah kekerasan seksual di kampus
dengan melindungi diri dari perilaku yang memalukan tersebut.
Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan
Penanggulangan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi bertujuan untuk
memberikan pedoman dasar kepada perguruan tinggi tentang pencegahan dan
penanggulangan kekerasan seksual dalam rangka implementasi kebijakan dan
operasi. Perencanaan mengakui. Tridharma di dalam maupun di luar kampus. , dan
mempromosikan kehidupan kampus yang manusiawi, bermartabat, egaliter, inklusif,
kooperatif, tanpa kekerasan di kalangan mahasiswa, fakultas, fakultas, dan
warga kampus. Salah satu cara yang dapat dilakukan dengan kesadaran diri
sendiri sebagai mahasiswa adalah membatasi pertemuan secara individu dengan
lawan jenis, baik itu dilakukan oleh jajaran kedudukan yang berbeda. Karena hal
itu dapat menumbuhkan nafsu dan niatan untuk berbuat kekerasan kepada
seseorang.
SARAN
Demikian essay yang kami tulis. Diharapkan pembaca dapat memahami materi yang kami uraikan. Kami menyadari akan kekurangan yang terdapat dalam tulisan ini. Pembaca diharapkan dapat mengkaji kembali tentang peran mahasiswa dalam memerangi kekerasan di Perguruan Tinggi dengan sumber kajian materi yang lebih lengkap.
DAFTAR PUSTAKA
Ajari, Warih.
2014. Fenomena Kekerasan Sebagai Bentuk Kejahatan (Violence). E-Journal
WIDYA Yustira. 1 (1).
Alpin, Riyan.
2022. Perlindungan Hukum Bagi Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual Di
Perguruan Tinggi. Lex Renaissance. 1 (7).
Faturani, Raineka.
2022. Kekerasan Seksual Di Lingkungan Perguruan Tinggi. Jurnal Ilmiah Wahana
Pendidikan. 8 (15).
Hamid, Abdul.
2022. Perspektif Hukum Terhadap Upaya Antisipasi dan Penyelesaian Kekerasan
Seksual Di Perguruan Tinggi. Al'adl: Jurnal Hukum. 4 (1).
Ishak, Deding.
2020. Pelecehan Seksual di Institusi Pendidikan: Sebuah Perspektif Kebijakan. AKSELERASI:
Jurnal Ilmiah Nasional. 2 (2).
Khusnatun Mu
barokah, 2022, Mahasiswa Dalam Menyikapi Kasus Kekerasan Seksual, Diakses Pada
29 Desember 2022, Dari https://panturanews.com/index.php/panturanews/baca/257938/17/02/2022/mahasiswa-dalam-menyikapi-kasus-kekerasan-seksual
Makarim, Mufti.
2014. Memaknai Kekerasan. Koleksi Pusat Dokumentasi Eslam.
Puspita, dkk.
2022. Buku Pedoman Pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan,
Riset dan Teknologi. Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan
Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. UPKS. Jakarta: Pusat
Penguatan Karakter.
Setiawan, Rino
Wahyu Budi. 2017. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kekerasan Dalam
Berpacaran Di SMA 1 Muhammadiyah. Skripsi. Program Studi Ilmu
Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
Tidak ada komentar: